Rokat, Sebagai Ungkapan Rasa Syukur Kepada Tuhan


MADURA, Jawara Post
Sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan, maka rokat dijadikan momentum untuk jalan tarekat. Yaitu, sebuah formulasi kegiatan yang di dalamnya sayarat dengan muatan adat. Budaya ini sudah dilakukan secara turun temurun, dari generasi ke generasi meski dalam pelaksanaannya tetap mengikuti perkembangan zaman. Namun, hakikat dari rokat itu sendiri masih tetap nampak jelas dalam upacara ini.
Syukur dilakukan agar nikmat yang kita terima semakin berkah, dan keberkahan-keberkahan itu selalu kita dapatkan di masa-masa yang akan datang. Syukur tidak sebatas diucapkan (secara lisan ungkapan syukur, ya) tetapi harus direalisasikan dengan cara usaha yang maksimal disertai dengan doa yang tak berpantang. Dengan cara demikian, syukur akan mempunyai nilai lebih, baik sebagai bentuk penghambaan dan upaya atau ikhtiar yang maksimal.
Sebagai Ajang Silaturrahmi
Ketika upacara rokat dilaksanakan, sanak famili, handai tolan, dan masyarakat secara keseluruhan berbondong-bondong menghadiri tata cara adat ini. Dengan demikian, sudah sangat jelas bahwa di dalam upacara rokat ini ada ajang silaturrahmi. Sudah menjadi kesepakatan agama (baca: Islam) bahwa silaturrahmi adalah bentuk komunikasi sosial yang berdampak baik untuk kehidupan bermasyarakat.
Membangun hubungan yang baik antar masyarakat adalah suatu kebajikan. Di dalam upacara adat rokat ini juga terkandung nuansa sosial yang akan berdampak baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam upacara adat budaya rokat terdapat banyak manfaat untuk hubungan masyarakat yang ideal.

Silaturrahmi telah terbangun di dalam upacara rokat. Maka, sangat penting bagi kita untuk menjaga kelestarian upacara rakyat ini. Salah satu alternatif dalam menjaga kelestarian adat ini adalah berdaya upaya untuk selalu terlaksana dengan sebaik-baiknya. Karena dengan terlaksananya rokat, saling membantu menjadi sebuah tradisi yang akan tetap ada hingga akhir zaman.

Bersifat Kerja Sama dan Tolong Menolong
Rokat adalah sebagai wadah untuk saling menolong. Bekerja sama dan sama-sama bekerja adalah sebuah kebiasaan yang harus tetap lestari. Tolong Menolong dan gotong royong merupakan dasar dalam kearifan bangsa. Dari zaman nenek moyang kita, gotong royong dan tolong menolong telah menjadi budaya dan tidak akan menghilang begitu saja. Meski di zaman sekarang ini, kondisi masyarakat telah terkikis menjadi individu yang nafsi-nafsi, setidaknya dengan Budaya rokat, gorong royong masih ingin terus dieksiskan.
Kerja sama yang baik, di dalam segala bidang akan menghasilkan sesuatu yang baik pula. Karena di dalam kerja sama ada banyak pemikiran yang akan menjadi pilihan keputusan yang lebih baik daripada keputusan sepihak atau sendiri-sendiri. Bahu membahu untuk mencapai kesuksesan adalah kesuksesan itu sendiri, mencapai apa yang kita inginkan. Meraih mimpi menjadi kenyataan (dream comes true). Dan inilah yang kita maksud dan yang kita inginkan.
Hiburan Bagi Masyarakat
Biasanya, ketika upacara pelaksanaan rokat diadakan, masyarakat di sekitar Kecamatan Masalembu berbondong-bondong ikut serta mengikuti, maupun hanya jadi penonton dalam kegiatan rekreatif ini. Jadi, di dalam upacara rokat juga terdapat hiburan bagi rakyat banyak sehingga acara adat ini menjadi ajang rekreasi. Bahkan Upacara Adat rokat di Masalembu sempat disaksikan oleh wisatawan manca negera. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan upacara rokat telah menyebar ke berbagai belahan dunia. Hilangnya upacara adat ini akan menjadi nilai buruk untuk sebuah kelestarian budaya.
Pelaksanaan upacara rokat tahun terakhir, dibiayai oleh desa yang ada di Masalembu. Sehingga semarak pelaksanaannya semakin meriah. Ada 4 desa yang ada di Masalembu, yaitu Desa Masalima, Sukajeruk, Masakambing, dan Keramian. Keempat desa tersebut turut serta dalam pelaksanaan rokat sehingga suasana semakin semarak dan menghibur.
***

@Rusdi Umar
 
 

PERKATAAN ruwat (Jawa) atau arokat (Madura) berasal dari bahasa Sansekerta atau Jawa kuno yaitu rwad yang kemudian berubah bentuk menjadi rod atau root (Inggris) yang berarti akar (urat, oyot, atau ora’ dalam bahasa Madura). Dari kata rwad itulah dalam bahasa Jawa baru menjadi ruwat (luwar). Diruwat berarti dibebaskan dari dosa karena termakan sumpah atau janji. Ngluwari ujar berarti melaksanakan janji, nazar, sumpah, atau melaksanakan wasiat si mayat, sehingga yang ngluwari ujar itu terlepas dari rasa berdosa.
Perkataan root yang berarti akar itu kemudian disingkat dengan huruf kapital R dan menjadi lambang panjang separuh dari garis tengah suatu lingkaran. Dengan demikian muncullah rumus luas lingkaran yaitu 2 PI x R2. Adapun PI adalah panjang busur lingkaran dibagi panjang garis tengah (=3,14159), seberapa pun besarnya lingkaran. Angka itu tetap saja menjadi keliling lingkaran yaitu PI x 2 R (R adalah jari-jari lingkaran).
Budaya ruwat atau arokat adalah upacara selamatan bagi anak-anak yang dilahirkan dalam susunan keluarga yaitu:
  1. Anak tunggal
  2. Dua orang anak (laki-laki dan perempuan)
  3. Tiga orang (perempuan diapit lelaki atau lelaki diapit perempuan)
  4. Lima orang (laki-laki semuanya menyerupai Pandawa)
Di tanah Jawa masih banyak lagi yang harus diruwat, antara lain orang yang periuknya roboh saat menanak nasi, orang yang me- nanam waluh (labu) di muka rumah, anak yang selalu sakit-sakitan, anak yang sangat nakal, dan sebagainya.
Upacara ruwat diadakan supaya si anak terlepas dari bahaya. Menurut kepercayaan Jawa, bahaya itu berupa sergapan Batara Kala yang oleh para dewa sudah ditentukan mangsanya. Upacara itu di Jawa dilakukan dengan pertunjukan wayang purwa, sedangkan upacaranya lazim disebut “Hamurwakala”, artinya mengembalikan anak pada asal mulanya, bukan dibunuh melainkan diserahkan kepa­da Zat yang menciptakan kala (waktu). Bukankah menurut keper­cayaan Jawa, waktu dipandang sebagai kekuatan Maha Agung yang menentukan kemalangan, musibah, dan bahagia bagi manusia?
Sedangkan wayang purwa berarti wayang yang sangat awal. Ini adalah gambaran kepercayaan asli masyarakat Jawa zaman dahulu ketika masih memuja Waktu atau Kala.
Lakon cerita wayang pada upacara ruwat sebenarnya adalah lakon Batara Kala. Siapakah Kala itu? Kala adalah putra Batara Surya (Dewa Matahari). Bukankah matahari itu menjadi titik pangkal perhitungan hari atau waktu (kala)? Itulah sebabnya Dewa Kala (Batara Kala) atau Waktu dinamakan “Putra Batara Surya”. Artinya, “waktu” atau “kala” dihasilkan oleh lamanya planet-planet (bumi dan lain- lain) atau satelit (bulan) menjelajahi angkasa mengitari matahari seba­gai induknya. Itulah sebabnya Batara Kala disebut juga Surya Atmaja (Putra Batara Surya).
Masyarakat Jawa pada zaman dahulu telah mengenal perhitungan “hari yang tujuh”, yaitu nama-nama hari: Dite, Soma, Nggara, Buda,
Respati, Sukra, dan Tumpak (Sabtu). Nama-nama itu diambil dari nama-nama planet yang berjumlah tujuh (pada waktu itu). Sekarang telah ditemukan dua planet lagi men)adi sembilan. Menilik hal itu, dahulu masyarakat Jawa menggunakan tahun syamsiah (lamanya bumi mengitari matahari dalam setahun). Kemudian dengan kedatangan Islam, maka diperkenalkanlah tahun qomariah (lamanya bulan mengi­tari bumi dalam setahun). Gabungan antara tahun Saka (lama) dan tahun Qomariah (Islam) itulah yang membentuk perhitungan bulan Jawa sekarang.
Upacara ruwat (arokat) dimaksudkan untuk menyerahkan kembali nasib anak yang diruwat kepada Zat Asal yang menciptakan kehidupan ini, supaya si anak terlepas dari bencana siksa-Nya. Ini sama dengan tobat nasuha dalam ajaran Islam, suatu tobat yang tak akan mengulangi kesalahan lama dan menutupi kesalahan-kesalahan serta dosa dengan kebaikan. Secara simbolis orang tua perlu bertanya kepada diri sendiri, bagaimana anak itu kedka berada dalam kan- dungan sang ibu dan apa yang dilakukan orang tua selama anak berada dalam kandungan. Ruwat pada hakikatnya adalah belajar introspeksi dan retrospeksi
Upacara ruwat di Bondowoso diwujudkan dalam modifikasi budaya Jawa dengan wayang purwa. Bukan dengan mengadakan pertunjukan wayang sebenarnya melainkan dengan fragmen “adegan wayang orang” (wayang topeng) dengan lakon Batara Kala. Ini dilaku­kan karena ontowacana dengan bahasa Jawa, apalagi Jawa Kawi tak mungkin dapat dilakukan.
Dalam pertunjukan wayang topeng itulah dalang berperan menghidupkan cerita. Dalang mampu mengalihkan jalan cerita ke bahasa Madura. Di sana-sini ada selingan humor supaya pertunjuk­an menjadi menarik. Dialog-dialog yang diucapkan dalang, diperan- kan oleh pelaku wayang, hampir-hampir menyerupai pantomim dengan mengikuti suara dalang.
Sebelum pertunjukan dimulai, dalang membacakan mantra atau doa memohon keselamatan. Mantra dibacakan di atas kepulan asap dupa (kemenyan) di tengah malam. Sedangkan anak yang di-rokat dimandikan dengan air bunga. Maksudnya agar segar, bersih, dan beraroma harum. Ini adalah simbol budaya membersihkan anak dari segala ancaman dan sergapan Batara Kala.
Pertunjukan itu dilakukan sampai larut malam seperti halnya wayang purwa. Tidak lupa sahibul hajat menyediakan “sesaji” makanan kenduri nasi serta lauk pauk berupa panggang ayam putih mulus yang dipersembahkan kepada leluhur yang telah wafat. Lalu dibacakanlah doa, nasi kenduri pun mulai dimakan. Setelah usai, dalang beserta para pelaku wayang menerima imbalan uang jasa dan transportasi (bagi dalang dan niyaga-nya). Ada kalanya mereka diberi seperangkat alat dapur.
Di Pesantren Sukorejo, Asembagus, Situbondo, ada sebuah buku doa Pangrukat yang berasal dari Kiai Abdul Latief, saudara dari Kiai Syamsul Arifin (alm.). Doa itu dibacakan pada upacara selamatan pekarangan, tegalan, tanaman, kendaraan, perahu atau motor.
Di samping itu ada doa rokat dengan menyembelih kambing hitam. Gunanya untuk menolak serangan wabah penyakit. Kambing disembelih di tengah desa atau di tengah pekarangan. Yang menyem­belih harus menghadap ke kiblat, setelah kambing disembelih maka dagingnya dibagikan kepada masyarakat. Kikil (kekot) dan tulang- tulangnya tidak dimakan namun ditanam di tempat penyembelihan kambing tersebut (Kitab ]aami’ud da’awaat).
Dari budaya ruwat ini tersimpan filosofi bahwa:
a. Masalah takdir harus diyakini adanya. Manusia tidak perlu lari pada hal-hal yang musyrik, menyembah waktu seperti pada zaman dahulu: matahari dan bulan disembah. Nabi Ibrahim telah menolak keyakinan bahwa Tuhan itu berupa matahari atau bulan (QS 16: 74-83).
  1. Letak susunan anak dalam keluarga memang secara psikologis ada pengaruhnya. Anak tunggal biasanya dimanjakan. Begitu pula anak bungsu atau anak tunggal yang diapit dua-tiga anak yang berlainan jenis kelaminnya. Anak-anak yang lelaki semua akan sulit dibina. Biasanya mereka saling berebut kekuasaan. Begitu juga jika semua anak adalah perempuan. Pada umumnya anak kedua suka meninggalkan rumah karena tekanan anak sulung. Kalau orang tua tidak adil dan pilih kasih dalam memberikan layanan pendidikan, maka bencana perkelahian, pertentangan, atau tekanan batin akan muncul. Hal itu akan menyulitkan orang tua untuk mengantarkan anak menuju masa kedewasaannya.
Dengan menghargai waktu untuk mengisi kehidupan maka kebahagiaan hidup akan tercapai. Islam sangat menghargai waktu. Disiplin salat mengarah pada disiplin pribadi dan berguna bagi pembentukan watak pribadi kelak. Allah berfirman dalam surat Al-Jumu’ah: Apabila telah usai salat Jumu’ah, bertebaranlah kau di muka bumi mencari rejeki karunia lllahi (QS 62: 10).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ini Harapan Anak Jalanan Kepada Pemkab

Kader Pelestari Budaya Gianyar Gelar Kemah Budaya

Dua Pelaku Curanmor Babak Belur Dihajar Massa